Fiat Lux

Senin, 18 September 2017

Kitab Ajaran Keluarga Para Jalang Melankolis


Ada sebuah shelter bus Trans Jogja di ujung selatan kawasan Malioboro, berdiri berhadap-hadapan dengan Taman Pintar. Pada hari-hari yang riuh, akhir pekan yang panjang, shelter itu akan penuh sesak dengan calon penumpang yang hendak beranjak ke ragam penjuru angin Jogjakarta. Antrean bisa mengular hingga ke tangga landai yang ujungnya menyatu ke permukaan trotoar. Beberapa menit sekali, bus Trans Jogja akan singgah mengangkut penumpang.

Jika bus-bus yang datang dari timur telah sama penuhnya dengan isi shelter, maka antrean panjang itu harus bersabar sekali lagi. Hanya satu dua akan terangkut. Sisanya terpaksa melengos beberapa kali. Menunggu bus yang datang belakangan.

Lalu bus yang lebih lengang tiba. Penumpang naik satu per satu, dan udara di shelter sempit kembali melegakan.

Dalam sejumlah lawatan ke Jogja, saya beberapa kali menumpang Trans Jogja dari shelter di depan Taman Pintar itu. Biasanya setelah seharian mengeluyur sendirian di Malioboro dari ujung ke ujung. Perjalanan mengelayap umumnya akan saya akhiri di pasar buku di belakang Taman Pintar, mencomot beberapa buku untuk di bawa pulang. Berjalan kaki dari pasar menuju shelter memakan waktu kurang dari 3 menit.

Namun pada kunjungan ke Jogja di bulan Januari 2014, situasinya berubah sedikit berbeda. Menunggu bus datang di shelter yang sama terasa nelangsa detik demi detik. Kala itu saya memilih bersandar di salah satu sisi pintu penaikan-penurunan penumpang yang hampir tak pernah tertutup. Beruntungnya, halte pada hari-hari itu cukup lengang. Cuaca Jogja tak begitu panas, bahkan cenderung abu-abu. Mendung.

Mata saya tak lepas dari kendaraan yang mencoba membelah jalanan sekencang mungkin, sebelum hujan benar-benar turun. Tak ada yang mau terjebak hujan di jalanan. Mata saya tak lepas, namun pikiran saya sedang tidak ada di sana. Tidak di jalanan itu, tidak di dalam shelter. Tidak sekalipun mengekor sepeda motor yang berlalu. Saya memang terserang sakit jiwa tingkat pertama waktu itu. Suasana di sekitar shelter yang sesungguhnya baik-baik saja berubah menjadi serba sentimentil.

Lalu hujan akhirnya benar-benar turun.

Pada saat itu, sayup-sayup intro “Departemental Ditties and Other Verses” mulai terdengar. Lalu sealbum penuh “Re-Anamnesis”, milik Melancholic Bitch (Melbi). “We are very slightly change…”



Sejak saat itu, segala tentang Melbi menjadi serba melekat pada suasana shalter busway di selatan Malioboro itu. Pada sendunya yang remang-remang, sebelum dindahkan ke dalam ragam situasi yang lain. Eksistensi fisikal shelter yang tiga dimensi barangkali telah samar-samar, namun saya menyimpannya sebagai sebuah kategori perasaan tersendiri.

Lagu-lagu Melbi diramu untuk mengiyakan kegelisahan a la shelter itu. Memperbincangkan cinta dengan cara dan sudut pandang tak jamak. Makna literer shelter sebagai tudung perlindungan dimaknai ulang sebagai cukup ruang personal untuk memahami kegelisahan. Menciptakan rasa aman yang hadir dari penerimaan dan usaha untuk mengerti.

Lalu pada putaran lagu-lagu Melbi yang kedua, saya mulai menyimak liriknya dengan saksama. Setiap katanya seolah dijahit berdasarkan riset puluhan tahun atas kebudayaan manusia. Setiap katanya dipilih secara hati-hati sebagai sajak, sebelum ditimpali dengan bebunyian dari instrumen yang kaya. Di dalam musiknya saya temukan instalasi cermin untuk sebuah refleksi.

Pada putaran ketiga dan selanjutnya, yang terjadi adalah adiksi menahun.

Sebagaimana terhadap banyak band favorit, saya diam-diam mulai menyimpan asa untuk menyaksikan band ini secara langsung, hadap ber hadapan. Masalahnya, Melbi sendiri bukanlah band yang mudah ditemui. Sebagaimana lagu-lagunya mengubah sebuah shelter Trans Jogja menjadi imaji tak terjelaskan yang melulu kontekstual, eksistensi band ini pun hampir sama abstraknya.



Konon sejak merilis “Balada Joni dan Susi” -album penuh kedua mereka- pada tahun 2009, penampilan live Melbi dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Personelnya lebih banyak berkutat dengan urusan masing-masing. Salah satunya melanjutkan studi ke luar negeri, yang lain berkeliling Indonesia sebagai sound engineer. Mite tentang Melbi diperbincangkan kasak-kusuk, sementara bandnya, sebagaimana istilah yang dipergunakan banyak media, memasuki fase hidup segan mati tak mau.

Namun pada suatu hari, tanpa gerhana atau meteorit, laman media sosial mereka mendadak genit kembali dan sibuk bercuit-cuit. Melbi menggoda penggemarnya dengan isyarat kelahiran sebuah proyek baru. Lalu tanggal konser pada permulaan September segera ditetapkan. Yang membahagiakan dua kali lipat, konser tersebut sekaligus menjadi ajang peluncuran album mutakhir mereka setelah 8 tahun, NKKBS Bagian Pertama.

::

Saya tiba di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM 15 menit kurang pukul 7 malam. 12 jam sebelumnya, saya masih menunggu kereta api di stasiun Senen.

Pintu arena pertunjukan masih tertutup sekenanya. Selain para penjaga pintu, aktivitas panitia hanya tampak di booth penukaran dan pembelian tiket. Sementara orang-orang yang menunggu menyemut hingga ke halaman parkir. Saya memilih merebahkan diri di salah satu pojok yang lengang dekat pintu masuk. Ketika pukul 7 terlampaui, belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Saya melanjutkan apa yang telah saya lakukan sejak pertama kali tiba; mengamati detil-detil album baru Melbi di tangan saya.

Nomor-nomor di dalam NKKBS Bagian Pertama dijuduli dengan cara yang ganjil. Umumnya terdiri atas dua kata atau frasa, dengan dipisahkan koma di tengahnya. “Normal, Moral”, “Dapur, NKK-BKK”, “Aspal, Dukun”, “Selat, Malaka”, semisal. Satu-satunya lagu dengan judul yang memenuhi unsur sebuah kalimat normal tersisa di akhir album, “Lagu untuk Resepsi Pernikahan”. Saya menebak-nebak alasannya. Jika mengingat-ingat kebiasaan artistik Melbi, cara penulisan ini barangkali adalah sebuah detil metaforis yang tak lepas dari tema umum album itu sendiri.

Lamunan saya buyar ketika para penjaga pintu mulai sahut menyahut menyilakan orang-orang untuk masuk ke gedung. Saya bergabung ke dalam antrean masuk.


Malam itu, Interior PKKH dibalut dengan kain hitam sepenuhnya. Kami harus melalui koridor, sebelum kain hitam panjang itu menemui ujungnya.  Di sisi dalam telah berdiri sebuah panggung besar dengan instalasi patung yang terbungkus terpal, dililit berutas tambang. Sayup-sayup diperdengarkan lagu mars Keluarga Berencana (KB) lewat pengeras suara. Sementara di latar panggung diproyeksikan potongan gambar dari proyek seni rupa “Indonesian Family Potrait Series” karya Akiq AW. Syahdan, NKKBS Bagian Pertama terinspirasi dari serangkaian intalasi ini.

Tepat pukul 8, Nadya Hatta yang mengisi seluruh bagian keyboard dalam album ini naik ke panggung. Ia mulai memainkan sejumlah nada, sebelum vokalis Melbi yang kesohor itu menyusul naik. Dari kerongkongannya yang penuh asap sigaret, mulai berdengung lirik yang segera saya kenali.

We are very slightly change / From a semi apes who range / India’s prehistoric clay / India prehistoric clay //”

Departemental Ditties didapuk sebagai intro konser. Saya menyeru sendiri dengan haru tertahan mengiringi Ugo bernyanyi. Pada nada terakhir, konser berlanjut dengan resital seluruh isi album NKKBS Bagian Pertama, dari awal hingga lagu terakhirnya.

::

Mendengarkan NKKBS Bagian Pertama ibarat membaca sebuah laporan penelitian sosial komprehensif mengenai struktur sosial masyarakat Indonesia sejak merdeka. Di dalamnya, Orde Baru ditempatkan berdiri di tengah-tengah, membagi titi mangsa sejarah kebangsaan diantara pendahulu dan setelahnya.

Konteks NKKBS Bagian Pertama rasanya telah dimulai jauh semenjak bulan-bulan jelang kemerdekaan. Pada sebuah perdebatan di BPUPKI, Prof. Soepomo mengajukan sebuah konsep kontroversial mengenai bentuk negara yang hendaknya dianut Indonesia kelak. Ia menyebut dengan malu-malu Jepang dan Jerman, dua negara yang notabene mengawali kekacauan Perang Dunia II, sebagai sumber inspirasinya. Malu-malu, karena sebelum terlalu jauh dituding mencomot gagasan fasis, Soepomo buru-buru berkilah bahwa konsep yang ia bawa tak sepenuhnya sebangun dengan idelogi itu. Yang hendak ditekankannya adalah betapa negara haruslah mencakup segala tanpa terkecuali di dalam sistem yang meniru dinamika keluarga. Pemerintah menjalankan lakon sebagai seorang ayah.

Salah satu konsekuensinya, konstitusi Indonesia kelak tak perlu memuat klausul-klausul mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Selain dituding kelewat liberal dan kebarat-baratan, perlindungan HAM sudah menjadi wewenang intrinsik pemerintah, tanggung jawab moral struktural, sehingga tak perlu diucapkan secara formal di dalam perundang-undangan. Beruntung di dalam forum yang sama bermukim sosok Hatta dan Yamin. Ide ini, pada akhirnya, tak benar-benar diterapkan secara utuh.

Namun kerangka pengaman yang didirikan para pendiri bangsa dari bahaya laten integralisme itu rupanya tak benar-benar kuat. Mudah ditebak, karena hanya berwujud satu pasal di dalam UUD 1945. Kekuasaan tokoh-tokoh revolusi 1945 berakhir pada tahun 1966, beberapa bulan setelah peristiwa kontroversial G30S. MPR sebagai lembaga tertinggi negara pada waktu itu mengalihkan mandat pemerintahan dari tangan Soekarno kepada Soeharto, sang pahlawan G30S. Orde Baru berdiri di atas remah-remah rezim sebelumnya.

Di tangan Soeharto, konsep integralistik akhirnya menemukan dimensi praktikal. Di dalam monograf bertajuk “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik”, Saya Sasaki Shiraishi menggambarkan bagaimana sang Jendral berusaha memapankan posisinya sebagai bapak bangsa. Warga negara diperlakukan sebagai anak yang harus senantiasa manut terhadap standar moralitas rezim. Slogan Tut Wuri Handayani diwacanakan ulang sedemikian rupa dalam relasi kuasa a la militer, sehingga kepatuhan setiap orang menjadi tak bersyarat. Segala bentuk penyimpangan sudah sepantasnya dihukum sebagai bentuk kasih sayang. Pemahaman ini belakangan melegitimasi tindakan represif Orde Baru atas ekspresi yang bertentangan dengan haluan politik rezim, atau apa-apa yang dinilai dapat mengganggu stabilitas.


Dan negara yang dijalankan dengan prinsip kekeluargaan membawa konsekuensi lain. Di dalam sebuah keluarga, batas-batas antara privasi anggotanya hampir-hampir samar. Keluarga adalah oikos itu sendiri, muasal pranata rumah tangga yang paling asali. Dengan demikian di dalam negara kekeluargaan, pemisahan antara yang privat dan yang publik berusaha dihilangkan. Negara perlu menyerobot dan mengontrol ruang-ruang paling pribadi warga negaranya dalam kedudukannya sebagai pemimpin pranata keluarga.  Mereka perlu tahu siapa gadis yang dibawa anak laki-lakinya ke dalam kamar, dan pada pukul berapa mereka bersenggama. Negara harus tau masakan apa yang di masak ibu hari ini. Negara perlu mengetahui berapa anakmu, dan kalau perlu, mengatur jumlahnya.

Konsep keluarga ideal pada akhirnya menjadi wacana dominan dalam sentrum politik Indonesia, dan semakin mapan di era Orde Baru. Melalui beragam kanal, ia menelusup sebagai doktrin yang menjamah sub-sub kesadaran manusia Indonesia. Sekalipun tatanan Orde Baru telah berakhir hampir 20 tahun silam, gaungnya tetap terasa hingga hari ini. Bagi mereka yang lahir dan bertumbuh sebelum ’98, kesadaran itu barangkali masih utuh. Namun bagi generasi yang lebih muda, pengetahuan sadar mengenai daya rusak Orde Baru hanya dapat dikenali melalui informasi pihak kedua, ketiga.

Narasi besar album NKKBS Bagian Pertama kemudian menjadi peretas bagi gap ingatan antar generasi itu. Fokus utamanya memang tentang pembacaan kritis atas konsep keluarga a la Orde Baru. Namun apabila ditimbang-timbang, NKKBS justru telah beranjak kepada sebuah epos yang hampir lengkap mengenai percobaan rekayasa sosial yang berusaha ditutupi rezim dengan gincu pembangunan. Kadang-kadang tekstual, namun lebih banyak disampaiakn dengan majas dan lelucon gelap, dingin.

Sejak track pertama, saya dibawa kepada banyak tinanda tandingan atas diksi-diksi yang kerap digunakan Orde Baru di dalam demagoginya. Kita tahu, kata “hantu” selama Orde Baru terpersonifikasi di dalam propaganda anti Komunisme, agar ideologi yang disebut belakangan terus-terusan hadir sebagai musuh bersama. Melbi mengajukan “Bioskop, Pisau Lipat” sebagai single pertama album NKKBS. Sebuah balada tentang memakai “bendera sebagai seragam,” ketika “digelandang ke bioskop jam 9”. “Bioskop, Pisau Lipat” dirancang untuk lebih mudah dicerna dan dinyanyika ulang, dan dengan demikian, membangkitkan sebuah trauma kolektif masa sekolah dasar.

Pendekatan hantu Orwellian a la Orde Baru tidak hanya berkutat pada wacana anti komunisme. Ia meraba jauh ke sela selangkangan, ke atas tubuh perempuan. Di dalam “Normal, Moral”, pelekatan gaib sang “hantu” dialihkan pada subyek guru Pendidikan Moral Pancasila yang hadir di “ranjang tempat kau bercumbu,” dan “tidak senang mendapati istrimu tak lagi perawan.” Sang guru adalah wakil dari big brother yang mengonstruksikan alam bawah sadar manusia Indonesia dengan gagasan tentang keperawanan sebagai prasyarat ideal seorang wanita lajang.

Ajaibnya, beberapa hari setelah album ini dirilis, seorang hakim mengusulkan tes keperawanan sebagai prasayarat pernikahan. Apabila seorang perempuan gagal melaluinya, negara dapat mengambil tindakan preventif dan represif. Novum maha tolol ini diklaimnya dapat menekan tingkat perceraian, sehingga laki-laki tak perlu rugi menikahi wanita yang tak lagi perawan. Si hakim adalah dokumentasi aktual dari generasi yang merawat nilai-nilai yang tengah dicemooh Melbi. Saya terpukau dan hampir-hampir mengira bahwa Ugoran Prasad dan kolektifnya memang merupakan sekumpulan nabi.

Keberlanjutan wacana politis Orde Baru dalam situasi kekinian dapat dibaca di lagu lain. Nomor “666,6” dinyanyikan sebagai kritik gamblang terhadap rendahnya literasi dan kemahiran saintifik masyarakat Indonesia, dibanding penguasaan mereka terhadap kitab suci. Kecenderungan yang muncul belakangan di kalangan orang beriman justru skeptisisme atas perkembangan ilmu. Perdebatan tidak perlu mengenai bentuk bumi kembali mengemuka ke ruang publik setelah ratusan tahun. Lagu tersebut dijuduli dengan epigram jumlah ayat Al Quran, seolah-olah menunjukkan adanya pemahaman yang terbalik tentang relasi agama dan akal sehat.

Yang berbahaya, kemalasan membaca itu berbanding lurus dengan syahwat untuk memaksakan moralitas agama sebagai standar retribusi hukum. Lelaku masyarakat dinilai berdasarkan “apa yang surga, apa yang neraka.” Artinya, peran agama semakin di dorong untuk masuk ke urusan polis secara utuh.


Apa yang terjadi hari ini barangkali adalah buah dari pergeseran konstituensi Orde Baru pada dekade terakhir rezim. Sejak 1965, Angkatan Darat (AD) menjadi lengan politis utama Soeharto. AD membantunya membangun fundamen-fundamen dasar pemerintahan, dimulai dari elemen-elemen  prinsipil hingga ke dalam praktik birokrasi. Namun di akhir ’80-an, sang jendral memutuskan memperbaiki hubungan dengan kaum islamis yang selama ini dipecundanginya.

Robert Hefner di dalam “Civil Islam” menyebut, rekonsiliasi ini bermula oleh keputusan Soeharto untuk menunaikan ibadah haji. Haji notabene adalah rukun agama yang memiliki kuasa labeling penting dalam pergaulan sosial masyarakat Indonesia. Dapat diartikan, sang jendral berusaha meminimalisasi citra sekular dan kejawen yang selama ini dia tunjukkan, dengan meraih status sosial tertentu. Soeharto kemudian menyokong pendirian pranata-pranata sosial berbau keislaman, sekalipun tidak mengiyakan seluruh tuntutannya, termasuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Di akhir kekuasaan Orde Baru, ketika huru-hara krisis ekonomi mulai terjadi, militer diam-diam membentuk unit-unit kombatan sipil di bawah naungan program Pamswakarsa. Komposisinya terdiri atas beragam latar belakang ideologi dan sosial, termasuk kaum islamis. Pada hari ini, ketika mereka yang menklaim bernafas Pancasila tampak kekurangan ekspos kamera, kolektif yang disebut belakangan justru semakin berkembang dalam kecepatan yang mengkhawatirkan, serta aspirasi politik yang vulgar; membentuk tatanan sipil berdasarkan “apa yang surga, apa yang neraka.”

Selain kekayaan wacananya, NKKBS Bagian Pertama juga melangkah lebih jauh dalam ekplorasi musikalitas. Dua album pendahulunya dihidangkan dengan rona yang lebih gelap, meminjam unsur-unsur psychedelic dan post-punk ’80-an. Di dalam NKKBS, Melbi melakukan pengayaan dengan musik rock yang lebih segar dan bergerigi. “Aspal, Dukun” mengocok gitar dan melengking dengan sentuhan rockabilia, sehingga terdengar menyenangkan untuk didengarkan sembari berkendara di jalan raya. Kebetulan, lagunya bertutur tentang franchise toko serba ada yang berkembang biak mengikuti pertumbuhan aspal. Masuk ke pelosok-pelosok, hingga dituding sebagai “jimat orang kota.”

Dengarkan pula nomor penutup “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” yang menggelikan. Struktur nadanya memang memenuhi kriteria ideal lagu pengiring pengantin, namun liriknya membawa pesan yang jomplang. Ia mencerca praktik resepsi pernikahan hari ini yang gemerlap, namun menyisakan utang. “Cinta…” ujarnya “diseret paksa” sehingga pelaminan dapat terisi oleh pasangan yang berbahagia. “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” menjadi bab akhir bagi NKKBS Bagian Pertama dengan simpulan yang cenderung melankolis atas institusi keluarga.

::

11 lagu di dalam NKKBS Bagian Pertama purna dibawakan Melbi dalam 46 menit. Enam orang di atas panggung memohon undur diri. Namun pertunjukan belum selesai. 10 menit berselang, para personel Melbi kembali ke atas panggung dengan kaki-kaki yang lebih segar.

Jika pada sesi pertama penonton lebih banyak tergagu, sesi kedua konser NKKBS ibarat pelukan panjang pelepas rindu para penggemar Melbi. Sungguh hangat dan karib.


Sebuah intro panjang digaungkan, menemani salam-salam Ugo kepada mereka yang menunggunya. Berturut lelagu penting mulai dinyanyikan dari kerongkongannya yang masih penuh asap. “Akhirnya Masup Tipi”, “Tentang Cinta”, “7 Hari Menuju Semesta”, “Mars Penyembah Berhala”, “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Ruang Angkasa”, “The Street”, “Menara” hingga “Nasihat yang Baik”. Sepanjang set kedua, gedung PKKH riuh dan penuh oleh paduan suara dadakan para penonton.

Saya sendiri terus bernyanyi kesetanan seperti orang-orang yang lupa jalan pulang. Diam-diam, NKKBS mengganti imaji tentang shelter Trans Jogja di selatan Malioboro. Yang tersisa dari sana adalah refleksi yang menerus, sementara kegusarannya menguap ke udara. Meluruh sepenuhnya dengan lampu sorot warna-warni dan keringat beterbangan. Saya melompat dengan beringas ke kanan dan ke kiri, ke depan ke belakang, setengah lupa bahwa di sekitar saya masih ada orang lain. Mengacungkan lengan di “Mars Penyembah Berhala”, berteriak-teriak semaunya. 

Saya bersikap seolah konser malam ini adalah konser terakhir Melbi dalam beberapa tahun. Atau seolah akan menunggu lama kembali untuk NKKBS Bagian Kedua.

Namun pada akhirnya, Melbi buru-buru menepis ketakutan ini. Konon, tidak akan ada lagi penantian hingga 7 tahun atau lebih. “Kita akan segera bertemu kembali,” tegas Ugo sebelum mengajak Melbi berpamitan yang sebenar-benarnya. (*)


Sekelumit tentang Konser “NKKBS Bagian Pertama”:
NKKBS Bagian Pertama diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM pada 9 September 2017. Saya masih berharap mereka menggelar gig lain di Jakarta. Formasi Melbi dalam album NKKBS Bagian Pertama terdiri atas Richardus Ardita, Yennu Ariendra, Ugoran Prasad, Yossy Herman Susilo, Nadya Hatta, dan Danish Wisnu Nugraha.

Tiket dibanderol Rp. 35.000 (presale), Rp. 70.000 (bundling CD album), Rp. 170.000 (bundling tees dan CD album), dan Rp. 50.000 (OTS). Saya menuju ke Jogjakarta dengan kereta api ekonomi bolak-balik jurusan Pasar Senen-Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar